Perang Kembang adalah sebuah fragmen atau penggalan adegan wajib dalam pagelaran wayang kulit maupun wayang wong di mana tokoh kategori bambangan (satria muda) bisa Arjuna, Abimanyu, Irawan, Sumantri, dan lain-lain.
Advertisement

Syahdan diceritakan Sang Ksatria telah selesai berguru kepada seorang pandhita, memasuki tahap akhir yakni bertapa, semedi, ‘berkhalwat’ kemudian badar - masa itu usai, saat itu muncullah tokoh Buta Cakil (baca : buto), disebut yaksa, buto atau raseksa tetapi sosoknya tidaklah berperawakan raksasa seperti umumnya kaum dhanawa, secara ukuran tubuh sekira dengan sang satria dan sama kurus, ia juga tidak bersuara besar melainkan cenderung cempreng, sama sekali jauh dari kesan menakutkan.
Jika ditilik dari pangkatnya di dalam hirarki jajaran peryaksaan, Cakil ini pangkatnya perwira ataupun panglima dalam adegan di luar Perang Kembang, kedudukannya setingkat di bawah patih, ia sering tampak memimpin pasukan buto.
Selanjutnya terjadilah dialog antara Satria dengan Cakil yang kurang lebih adalah interview tentang biodata masing-masing keduanya dibeberkan di sana. Lalu Sang Bambangan menjelaskan bahwa ia mendapat instruksi untuk memenuhi misi yang bisa jadi melanggar teritori dan wewenang sang Cakil sehingga menurut pandangan Cakil patut untuk dihentikan maupun dihalang-halangi alias membatalkan misi tersebut.
Tentu saja oleh kesatria ditolak mentah-mentah ancaman pembesar para raksasa itu. Maka terjadilah adu tanding, adu kekuatan antara keduanya. Di awal pertarungan nampak sang Cakil mampu mengimbangi ketangkasan sang Ksatria muda. Setelah lewat beberapa jurus yang cukup panjang mulai terlihat raksasa ceking kalang kabut terdesak, semakin lama semakin goyah, pertahanannya mulai kebobolan, kepalanya sering lolos kena jotos dan tendangan satria itu.
Sadar dirinya di ujung tanduk dan pertarungan semakin berat sebelah, segera buto Cakil mencabut keris luk 13 yang terselip di pinggangnya. Ia menghunus senjata andalannya tersebut dengan sangat lihai, kadangkala senjata itu berputar-putar, menari-nari, meliuk-liuk seakan hidup. Tak jarang keris tersebut terbang di udara dan dengan sigap ditangkap kembali layaknya boomerang.
![]() |
Keris Luk (berlekuk) 13 |
Sejenak Arjuna mundur beberapa langkah, memejamkan kedua belah matanya untuk kemudian menajamkan indera yang lain - pendengaran dan rasa. Ia mulai merasakan ada angin yang bergerak mengiringi serangan keris tersebut, ia juga mendengar suara desingan lembut bersamaan gerakan keris yang mematikan.
Setelah yakin bahwa senjata lawannya telah tertangkap radar dan terkunci. Secepat kilat Raden Arjuna melesat begitu merasakan dan mendengar ada sinyal getaran keris di sana, masih sambil terpejam, tangannya menangkis, menangkap tangan Cakil yang sedang menguasai keris itu. Dengan gerakan memelintir, mematahkan ke arah berlawanan serangan lalu membalikkan tangan si Panglima Buto yang terhunus senjata untuk kemudian menghujamkan ke dada si pemilik keris tepat di jantungnya. Jleb! Terhuyung ke belakang badan sang raksasa kurus, terkulai lemas lunglai tubuhnya, roboh secara perlahan, seketika terdengar teriakan sakaratul maut sekencangnya memenuhi seluruh relung belantara hingga akhirnya justru semakin menegaskan kesunyian seisi rimba untuk kemudian tak bergerak lagi. Mati…
Begitulah kurang lebih gambaran perang kembang yang diceritakan sang dalang dalam pagelaran wayang kulit atau yang dipentaskan di atas panggung wayang wong.
Intisari dari adegan fragmen ini bahwa Cakil adalah simbol nafsu kita sedang Bambangan adalah simbol khairul ummah/ insan kamil/ manusia terbaik yang telah mengalahkan nafsunya sendiri, digambarkan mati ditusuk kerisnya sendiri, atau bahasa kekiniannya sudah selesai dengan dirinya.
Jika ia menjadi nayaka praja tidak berambisi akan kedudukan yang lebih tinggi tetapi justru sibuk menata peningkatan kinerja dan pemenuhan kebutuhan kawula yang dipimpinnya.
Kalau ia menjadi wakil kawula selalu mencari tahu apa yang dimau oleh kawula yang diwakilinya bukan mencari tahu berapa komisi yang bakal diterima jika meloloskan anggaran dan tata trapsila tertentu sebagai imbal jasa dari yang menitip tendernya.
Ketika ia menjadi rohaniwan senantiasa menjaga laku, lampah, wicara, agar suci tiada noda tanpa ada asa berharap pada dunia, bukankan bila Ilahi Rabbi telah dekat, tinggal meminta kepada-Nya bukan kepada sesama ciptaan-Nya.
Bila ia menjadi punggawa hendaknya berikhtiar membela tumpah darah, setia tiada berhitung raga, nyawa pun diserahkan bagi nusa bangsa tiada harap imbal jasa, pangkat, maupun gelar anumerta apalagi mengganti posisi Baginda.
Menjadilah hamba di manapun tempat mengabdi, yang ia tahu hanya bersiaga menerima titah Maharaja Semesta tiada berhitung akan ganjar pahala.
Gusti Allah mboten sare…